Senin, 25 Juni 2012

NGAI ALFIAH

( فعيلا اجعل الثلاثي إذا ... صغرته نحو قذى في قذى ).833
(   فعيعل مع فعيعيل لما ... فاق كجعل درهم دريهما   ).834

833.Isim mufrod apabila mengnginkan untuk diadikan tasghir maka mengikuti wazan فُعَيْلٌ dengan qoidah huruf yang pertama diberi harokat dhomah , huruf yang ke-dua difathah dan setelah huruf yang ke-du:a ditambah huruf ya' yang disukun.
sepert contoh : قدى  apabila ditasghir maka menjadi قديّ

834.sedangkan isim mufrod yang jumlah hurufnya terdiri dari 4huruf ke atas mengikuti wazan فُعيْعِلٌ dan فُعَيعِيلٌ 
seperti contoh :
درهم menjadi درهيم
عصفورmenjadi عصيفير

DEFINISI THOLAQ SARIH-KINAYAH

Definisi thalaq sharih secara sederhana dalam Ianah dan beberapa kitab lain adalah ‘ma la yahtamilu ghairu thalaq’. Contoh pastinya adalah lafadz thalaq itu sendiri.

Definisi lebih lengkap disebutkan di Mughni Mujhtaj, yakni lafadz yang tidak mengandung selain thalaq baik dari segi lughat maupun urf. Sebab bila lughat saja maka akan ambigu sekali, sebab hampir tidak ada kata yang berdefinisi tunggal. Contohnya saja thalaq, secara bahasa bisa berarti lepasnya tali pernikahan, menembak, memanggil, dll. Akhirnya tidak terjadi kodifikasi sharih-kinayah.

Dari segi urf artinya setiap lafadz yang masyhur oleh masyarakat digunakan sebagai kalimat thalaq maka disebut sharih. Definisi ini lebih memahamkan. Namun problem muncul ketika lafadz ‘thalaq’ yang tadinya sharih ketika diterjemahkan ke bahasa lain terjadi perselisihan pendapat, ada yang menyatakan hal itu termasuk kinayah hanya dengan alasan terjemah lafadz thalaq tidak dijumpai di dalam al-Qur’an maupun hadits.

Dengan demikian definisi paripurna adalah seperti yang tercantum di Kifayah Akhyar, yakni ucapan yang untuk jatuhnya thalaq tidak butuh niat sebab sudah diresmikan sebagai kalimat thalaq oleh syariat. Paripurna sebab barometer syariat bisa berarti ‘wurud’ dalam dalil maupun masyhur secara ‘urf. Wurud dalam dalam dalil menjadi pegangan qaul yang berkata terjemah thalaq tidak sharih, dan masyhur secara urf menjadi pegangan qaul yang berkata terjemah thalaq itu sharih.

Secara garis besar ada empat kodifikasi sharih-kinayah dalam pembahasan thalaq:
- Sharih mutlak, yaitu lafadz thalaq.
- Khilaf, sharih menurut qaul masyhur, yakni lafadz sarah dan firaq.
- Khilaf, sharih menurut qaul madzhab, yakni terjemah lafadz thalaq.
- Khilaf, sharih menurut qaul mu’tamad (dha’if), yakni terjemah sarah dan firaq.

Bila dikaitkan dengan pertanyaan hukum suami menthalaq dengan perkataan ‘pisah’ (bahasa Indonesia) yang identik dengan ‘firaq’ berarti hukumnya khilaf. Kinayah menurut sebagian ulama, dan sharih menurut qaul dha’if dari sebagian ulama lainnya.

Wallahu a’lam
-----------------------------------------
الكتاب: حاشية إعانة الطالبين ج4 ص11-13
(قوله: بصريح) متعلق بيقع: أي إنما يقع الطلاق بصريح الخ، وهو شروع في بيان الصيغة التي هي أحد أركانه وهي لفظ يدل على فراق إما صريحا وهو ما لا يحتمل ظاهره غير الطلاق وألفاظه خمسة: طلاق، وفراق، وسراح، وخلع، ومفاداة، كما قال ابن رسلان في زبده: صريحه سرحت أو طلقت خالعت أو فاديت أو فارقت وإنما كانت صريحا لاشتهارها في معنى الطلاق وورودها في القرآن مع تكرر بعضها فيه وإلحاق ما لم يتكرر منها بما تكرر. -إلى أن قال-
وإما كناية وهي كل لفظ احتمل ظاهره غير الطلاق، ولا تنحصر ألفاظها. -إلى أن قال-
(قوله: فترجمة الطلاق صريح) أي لشهرة استعمالها عندهم في معناها شهرة العربية عند أهلها، ولا ينافي تأثير الشهرة هنا عدمه في أنت علي حرام لأن ما هنا موضوع للطلاق بخصوصه بخلاف ذاك، وإن اشتهر فيه.
وفي البجيرمي: وترجمة الطلاق بالعجمية: سن بوش فسن أنت، وبوش طالق.
اه.
وقوله على المذهب: قال في المغنى: والطريق الثاني وجهان: أحدهما أنه كناية اقتصارا في الصريح على العربي لوروده في القرآن وتكره على لسان حملة الشرع. اه
(قوله: وترجمة صاحبيه) أي الفراق والسراح.
وقوله صريح أيضا على المعتمد: قال في التحفة بعده على ما اقتضاه ظاهر أصله، واعتمده الأذرعي، ونقل عن جمع الجزم به، لكن الذي في أصل الروضة عن الإمام والروياني وأقراه أنها كناية لبعدها عن الاستعمال.
اه.
وظاهرها اعتماد أنها كناية وجزم بها في شرح الإرشاد فقال أما ترجمة السراح والفراق فكناية، خلافا للحاوي كما صححه في أصل الروضة وإن أطال جمع في رده.
اه.
وجزم بها في النهاية أيضا، فعلم أن قوله على المعتمد هو جار فيه - على ما اقتضاه ظاهر أصل المنهاج - وهو المحرر، وعلى ما اعتمده الأذرعي.
وقد علمت أن المعتمد خلافه (قوله: الجزم به) أي بهذا المعتمد، وهو ضعيف كما علمت

الكتاب: كفاية الأخيار ج1 ص388-391
ثمَّ اللَّفْظ إِمَّا صَرِيح وَإِمَّا كِنَايَة فالصريح مَالا يتَوَقَّف وُقُوع الطَّلَاق بِهِ على نِيَّة لِأَنَّهُ لذَلِك وضع أَي وَضعه الشَّارِع لذَلِك وَأما الْكِنَايَة فَهُوَ مَا يتَوَقَّف على النِّيَّة وَهَذَا بِالْإِجْمَاع وَلَا يَقع الطَّلَاق فِي الْكِنَايَة بِلَا نِيَّة قَالَ
(فالصريح ثَلَاثَة أَلْفَاظ الطَّلَاق والفراق والسراح وَلَا يفْتَقر صَرِيح الطَّلَاق إِلَى النِّيَّة)
أما كَون الطَّلَاق صَرِيحًا فَلِأَنَّهُ قد تكَرر فِي الْقُرْآن واشتهر مَعْنَاهُ وَهُوَ حل قيد النِّكَاح فِي الْجَاهِلِيَّة وَالْإِسْلَام وأطبق عَلَيْهِ مُعظم الْخلق وَلم يخْتَلف فِيهِ أحد

الكتاب: مغنى المحتاج ج4 ص456-460
فَصَرِيحُهُ) جَزْمًا (الطَّلَاقُ) أَيْ مَا اُشْتُقَّ مِنْهُ كَمَا سَيَأْتِي لِاشْتِهَارِهِ فِيهِ لُغَةً وَعُرْفًا (وَكَذَا الْفِرَاقُ وَالسَّرَاحُ) بِفَتْحِ السِّينِ أَيْ مَا اُشْتُقَّ مِنْهُمَا (عَلَى الْمَشْهُورِ) فِيهِمَا لِوُرُودِهِمَا فِي الْقُرْآنِ بِمَعْنَاهُ وَالثَّانِي، أَنَّهُمَا كِنَايَتَانِ؛ لِأَنَّهُمَا لَمْ يَشْتَهِرَا اشْتِهَارَ الطَّلَاقِ وَيُسْتَعْمَلَانِ فِيهِ وَفِي غَيْرِهِ. -إلى أن قال-
(وَتَرْجَمَةُ) لَفْظِ (الطَّلَاقِ بِالْعَجَمِيَّةِ صَرِيحٌ عَلَى الْمَذْهَبِ) لِشُهْرَةِ اسْتِعْمَالِهَا فِي مَعْنَاهَا عِنْدَ أَهْلِهَا شُهْرَةَ اسْتِعْمَالِ الْعَرَبِيَّةِ عِنْدَ أَهْلِهَا

LIRIK PUISI

As-salamualaikum warohmatullohi wabarokatuh..


Al-hamdulillah...semoga kita selalu dianugrahi kesehatan amiiin
PUISI-PUISI GUS MUS (KH Mustofa bisri)
PUISI-PUISI RABIAH AL- ADAWIAAH

Minggu, 24 Juni 2012

LIRIK LAGU

LIRIK LAGU OPIC
 LIRIK LAGU NASIDARIA

WE ARE YAUNG FIT

Judul lagu :
Janelle Monae

Tonight.. we are young
So let’s set the world on fire
We can burn brighter than the sun
Tonight.. We are young
So let’s set the world on fire
We can burn brighter than the sun
Now I know that I’m not all that you got
I guess that I, I just thought
Maybe we could find new ways to fall apart
But our friends are back so let’s raise a toast
‘Cause I found someone to carry me home
Tonight.. We are young
So let’s set the world on fire
We can burn brighter than the sun
Tonight.. We are young
So let’s set the world on fire
We can burn brighter than the sun
Carry me home tonight (Nananananana)
Just carry me home tonight (Nananananana)
Carry me home tonight (Nananananana)
Just carry me home tonight (Nananananana)
The moon is on my side I have no reason to run
So will someone come and carry me home tonight
The angels never arrived but I can hear the choir
So will someone come and carry me home
Tonight.. We are young
So let’s set the world on fire
We can burn brighter than the sun
Tonight.. We are young
So let’s set the world on fire
We can burn brighter than the sun
So if by the time the bar closes
And you feel like falling down
I’ll carry you home tonight

ZAKAT HEWAN TERNAK & PERTANIAN

Jumlah (ekor)
Zakat
5-9
1 ekor kambing/domba
10-14
2 ekor kambing/domba
15-19
3 ekor kambing/domba
20-24
4 ekor kambing/domba
25-35
1 ekor unta bintu Makhad
36-45
1 ekor unta bintu Labun
45-60
1 ekor unta Hiqah
61-75
1 ekor unta Jadz’ah
76-90
2 ekor unta bintu Labun
91-120
2 ekor unta Hiqah
Unta
Nishab unta adalah 5 ekor, artinya bila seseorang telah memiliki 5 ekor unta maka ia telah terkena kewajiban zakat.
Selanjutnya zakat itu bertambah jika jumlah unta yang dimilikinya juga bertambah. Berdasarkan hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Anas bin Malik, maka anda melihat tabel diatas.
Keterangan:
a) Kambing berumur 2 tahun atau lebih, atau domba berumur satu tahun atau lebih
b) Unta betina umur 1 tahun, masuk tahun ke-2
c) Unta betina umur 2 tahun, masuk tahun ke-3
d) Unta betina umur 3 tahun, masuk tahun ke-4
e) Unta betina umur 4 tahun, masuk tahun ke-5
Selanjutnya jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor maka zakatnya bertambah 1 ekor bintu Labun, dan setiap jumlahnya itu bertambah 50 ekor zakatnya bertambah 1 ekor Hiqah. 
Sapi, Kerbau dan Kuda
Nishab kerbau dan kuda disetarakan dengan nishab sapi yaitu 30 ekor. Artinya jika seseorang telah memiliki sapi (kerbau/kuda), maka ia telah terkena wajib zakat. Berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh At Tarmizi dan Abu Dawud dari Muadz bin Jabbal RA, maka dapat dibuat tabel sebagai berikut:
Keterangan:
Jumlah (ekor)
Zakat
30-39
1 ekor sapi jantan/betina tabi’ (a)
40-59
1 ekor sapi betina musinnah (b)
60-69
2 ekor sapi tabi’
70-79
1 ekor sapi musinnah dan 1 ekor tabi’
80-89
2 ekor sapimusinna

a. Sapi berumur 1 tahun, masuk tahun ke-2
b. Sapi berumur 2 tahun, masuk tahun ke-3
Selanjutnya setiap jumlah itu bertambah 30 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor tabi’. Dan jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor musinnah.
Kambing/Domba
Nishab kambing/domba adalah 40 ekor, artinya bila seseorang telah memiliki 40 ekor kambing/domba maka ia telah terkena wajib zakat. Berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Anas bin Malik, maka dapat dibuat tabel sebagai berikut:
Jumlah (ekor)
Zakat
40-120
1 ekor kambing (2th) atau domba (1th)
121-200
2 ekor kambing/domba
201-300
3 ekor kambing/domba
Selanjutnya, setiap jumlah itu bertambah 100 ekor maka zakatnya bertambah 1 ekor. Ternak Unggas (ayam, bebek, burung, dll) dan Perikanan . Nishab pada ternak unggas dan perikanan tidak diterapkan berdasarkan jumlah (ekor), sebagaimana halnya unta, sapi dan kambing. Tapi dhitung berdasarkan skala usaha. Nishab ternak unggas dan perikanan adalah setara dengan 20 Dinar (1 Dinar = 4,24 gram emas murni) atau sama dengan 85 gram emas.
Artinya bila seoran berternak unggas atau perikanan, dan pada akhir tahun (tutup buku) ia memiliki kekayaan yang berupa modal kerja dan keuntungan lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni, maka ia terkena kewajiban zakat sebesar 2,5%.
Contoh:
Seorang peternak ayam broler memelihara 1000 ekor ayam perminggu, pada akhir tahun (tutup buku) terdapat laporan keuangan sebagai berikut:
Ayam broiler 5600 ekor harga
Rp. 15.000.000,00
Uang Kas/Bank setelah pajak
Rp. 10.000.000,00
Stok pakan dan obat-obatan
Rp. 2.000.000,00
Piutang (dapat tertagih)
Rp. 4.000.000,00
Jumlah
Rp. 31.000.000,00
Utang yang jatuh tempo
Rp. 5.000.000,00
Saldo
Rp. 26.000.000,00

Besar Zakat = 2,5 % x Rp.26.000.000,00 = Rp. 650.000,00
Catatan:
Kandang dan alat peternakan tidak diperhitungkan sebagai harta yang wajib dizakati. Nishab besarnya 85 gram emas murni, jika @Rp. 25.000,00 maka 85 x Rp. 25.000,00 = Rp. 2.125.000,00
Syarat zakat ternak :
1. Sampai haul
2. Mencapai nishab
3. Digembalakan dan mendapat makanan di lapangan tempat penggembalaan terbuka
4. Tidak dipekerjakan
5. Tidak boleh memberikan ternak yang cacat dan tua (ompong)
6. Pembiayaan untuk operasional ternak dapat mengurangi dan menggugurkan zakat
ternak.


ZAKAT HASIL PERTANIAN
Nishab hasil pertanian adalah 5 wasq atau setara dengan 750 kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok seperti beras, jagung, gandum, kurma dan lain-lain, maka nishabnya adalah 750 kg dari hasil pertanian tersebut. Tetapi jika hasil pertanian itu selain makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun, bunga dan lain-lain, maka nishabnya disetarakan dengan harga nishab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut (di negeri kita beras).
Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila dairi dengan air hujan, atau sungai/mata air maka 10% apabila diairi dengan cara disiram/irigasi (ada biaya tambahan) maka zakatnya 5%. Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa pada tanaman yang disirami zakatnya 5%. Artinya 5% yang lainnya didistribusikan untuk biaya pengairan. Imam Az Zarqoni berpendapat bahwa apabila pengolahan lahan pertanian diairi dengan air hujan (sungai) dan disirami (irigasi) dengan perbandingan 50:50, maka kadar zakatnya 7,5% (3/4 dari 1/10).
Pada sistem pertanian saat ini, biaya tidak sekedar air akan tetapi ada biaya lain seperti pupuk, insektisida dan lain-lain. Maka untuk mempermudah perhitungan zakatnya, biaya pupuk, insektisida dan sebagainya diambil dari hasil panen, kemudian sisanya (apabila lebih dari nishab) dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% (tergantung sistem pengairannya).
Jadi, Ketentuannya:
  1. Mencapai nishab 653 kg gabah atau 520 kg jika yang dihasilkan adalah makanan pokok.
  2. Jika selain makanan pokok, maka nishabnya disamakan dengan makanan pokok paling umum di daerah.
  3. Kadar zakat apabila diairi dengan air hujan, sungai, atau mata air, maka 10 %
    Kadar zakat jika diairi dengan cara disiram (dengan menggunakan lat) atau irigasi maka zakatnya 5 %
Contoh:
Pada sawah tadah hujan ditanami padi. Dalam pengolahannya dibutuhkan pupuk dan insektisida seharga Rp. 200.000,00.
Hasil panen 5 ton beras
Pupuk/insektisida Rp. 200.000,00 : Rp. 1.000,00
5.000 kg
200 kg
Netto
4.800 kg
Besar zakat 10% x 4.800 kg
480 kg

Jika airnya disiram (ada biayanya) maka zakatnya setengah atau 5 % x 4.800 kg = 240 kg.

MEMINJAMKAN UANG KAS MASJID

Diskripsi masalah:
Sudah sering terjadi, bendahara meminjamkan uang kas kepada orang lain atau pada diri sendiri. Setidak-tidaknya menukar uang (receh) dengan uang yang besar. Dan ini terjadi pula pada panitia masjid atau nadhirnya.
Pertanyaan:
a. Bagaimana hukum perbuatan itu semua, baik masjid atau lainnya?
b. Milik siapakah laba uang tersebut, apabila telah diperdagangkan oleh peminjam?
Jawaban:
a. Meminjamkan uang kas organisasi kepada orang lain hukumnya Boleh, kalau ada maslahah yang kembali pada organisasi dan ada izin dari ketua. Kalau meminjam kan kepada dirinya sendiri, maka hukumnya ada khilaf:
- Menurut jumhurul ulama Tidak Boleh, karena ada ittihadul qobidl wal maqbudl.
- Menurut imam Qoffal Boleh, walaupun terjadi ittihadul qobidl wal maqbudl.
Adapun meminjamkan uang masjid yang terjadi dari ghullatul waqfi (hasil waqof) maka hukumnya Boleh dengan syarat:
1. Perginya mustahiqqin.
2. Menghawatirkan tersia-sia (rusak) nya hasil waqof tersebut.
3. Orang yang hutang harus mampu dan dapat dipercaya.
b. Bila uang tersebut diperdagangkan dan mendapatkan laba, maka laba tersebut milik muqtaridl (orang yang hutang) kalau qordl (utang-piutang) nya sah. Kalau qordl-nya tidak sah, maka hukumnya sebagaimana bai’ fudluli (yakni jual belinya tidak sah, dan barang-baranya yang dibeli harus dikembalikan kepada si penjual).

IBAROH
1. Al-Adabun Nabawi, hal. 96
2. Al-Asybah wan Nadho`ir, hal. 83
3. Al-Fatawi al-Kubro, juz III, hal. 265
4. I’anatut Tholibin, juz II, hal. 183
5. Hamisyul I’anah, juz III, hal. 51
6. As-Syarqowi, juz II, hal. 21

  1. وفى الادب النبوى، ص 96، مانصه
أولى الامرهم الذين وكل اليهم القيام بالشؤون العامة والمصالح المهمة فيدخل فيهم كل من ولى أمرا من امور المسلمين من ملك ووزير ورئيس ومدير ومأمور وعمدة وقاض ونائب وضابط وجندى. اهـ
وفى الاشباة والنظائر، ص 83، مانصه:
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة، هذه القاعدة نص عليها الشافعى وقال منزلة الامام من الرعية منزلة الولى اليتيم. اهـ
وفى الفتاوى الكبرى، ج 3 ص 265، مانصه:
وسئل هل للنّاظر اقراض غلة الوقف والاقتراض لعمارته فأجاب بقوله لايجوز اقراض ذلك الا ان غاب المستحقون وخشى تلف الغلة او ضياعها فيقرضها لمليئ ثقة وله الاقتراض لعمارة الوقف بإذن الحاكم. اهـ
وفى إعانة الطالبين، ج 2 ص 183، مانصه
وقال القفال لو قال لغيره اقرضنى خمسة وادها عن زكاتى ففعل صح قال شيخنا وهو مبنى على رأيه بجواز اتحاد القابض والمقبض.
(قوله بجواز اتحاد القابض والمقبض) اى بجواز ان يكون القابض والمقبض واحدا كما هنا. -إلى قوله- والجمهور على منعه.اهـ
وفى هامش إعانة الطالبين، ج 3 ص 51، مانصه:
(وملك مقترض) بقبض بإذن مقرض وان لم يتصرف فيه كالموهوب.
وفى الشرقاوى، ج 2 ص 21، مانصه:
(قوله كبيع الفضولى) هو من ليس مالكا ولا وليا ولا وكيلا فلا يصح بيعه وان اجازه المالك وكذا سائر تصرفاته. اهـ

Sabtu, 23 Juni 2012

BID'AH

Untuk menghindari terjadinya perselisihan, hendaklah dalam memahami Al Qur'an dan Hadits atau berpendapat atau berfatwa berdasarkan ilmu.
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Baik ilmu untuk memahami Al Qur'an dan Hadits maupun sanad ilmu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan
Pada hakikatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentu tidak pernah mengatakan bahwa “seluruh bid’ah adalah sesat”. Beliau mengatakan “Kullu Bid’ah dlalalah” sedangkan berdasarkan ilmu atau  secara tata bahasa sudah dapat dipahami dengan mudah seperti apa yang disampaikan oleh ulama yang sanad ilmunya tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154)
Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarkan ilmu yakni menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya "makna bid’ah lebih luas dari makna sesat" sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.
Jadi hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” adalah bersifat umum dan diperlukan hadits yang lain untuk menjelaskan apa yang  dimaksud atau termasuk bid’ah (perkara baru) yang sesat seperti
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak“. Diriwayatkan pula oleh ‘Abdullah bin Ja’far Al Makhramiy dan ‘Abdul Wahid bin Abu ‘Aun dari Sa’ad bin Ibrahim (HR Bukhari 2499)
Apakah yang dimaksud perkara baru dalam urusan kami atau pada hadits yang lain disebut perkara baru dalam urusan agama ?
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Urusan kami atau urusan agama atau perkara syariat adalah segala perkara yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla yang harus dipenuhi manusia sebagai syarat untuk menjadi hamba Allah yakni meliputi menjalankan kewajibanNya yang jika ditinggalkan berdosa dan menjauhi laranganNya dan apa yang telah diharamkanNya yang jika dilanggar/dikerjakan berdosa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Perkara baru dalam urusan kami adalah
  1.  Mengada ada dalam perkara larangan dan pengharaman (perbuatan yang jika dilanggar / dikerjakan berdosa) 
  2.  Mengada ada dalam perkara kewajiban (perbuatan yang jika ditinggalkan berdosa)
  3.  Mengada ada atau mencontohkan perbuatan yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits. Segala perbuatan yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits adalah berdosa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan meninggalkan sholat tarawih berjama’ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan bahwa sholawat tarawih berjama’ah sepanjang bulan Ramadhan adalah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam (tarawih berjam’ah)  itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687).
Intinya segala perkara yang berhubungan dengan dosa hanya ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla
Jadi jika ada yang  membuat perkara baru atau mengada-ada (bid’ah) yang kaitannya dengan dosa baik dosa karena ditinggalkan (perkara kewajiban) atau dosa karena dikerjakan/dilanggar (perkara larangan dan perkara pengharaman)  atau dosa karena mengada-ada atau mencontohkan perbuatan yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits adalah bid’ah dholalah, bid’ah yang menyekutukan Alah.
Jika secara serampangan menetapkan atau berfatwa ini dosa, itu dosa dengan akal pikirannya sendiri tanpa dalil dari Al Qur’an dan Hadits maka dia telah menyekutukan Allah dengan akal pikirannya sendiri.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Kesimpulannya bid’ah yang akan berakibat bertempat di neraka adalah bid’ah yang menyekutukan Allah.  Allah Azza wa Jalla menutup taubat ahli bid’ah karena menyekutukan Allah hingga mereka meninggalkan bid’ahnya
Dari Anas r.a. berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda : “Sesungguhnya Allah menutup taubat dari tiap-tiap orang dari ahli bid’ah sehingga ia meninggalkan bid’ahnya.” (H. R. Thabrani)
Sedangkan bid'ah (perkara baru) atau mencontohkan (meneladani) perbuatan di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatkanNya atau di luar apa yang telah diwajibkanNya selama tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits adalah bid'ah hasanah (mahmudah) atau sunnah hasanah (contoh/teladan yang baik). Bagi siapa yang mencontohkan atau meneladani sunnah hasanah (contoh/teladan/perkara baru yang baik) maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan contoh/teladan/perkara baru tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun.
Kebalikannya sebagaimana yang disampaikan dalam point 3 di atas,  bid'ah (perkara baru) atau mencontohkan (meneladani) perbuatan di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatkanNya atau di luar apa yang telah diwajibkanNya dan bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits adalah bid'ah dholalah atau sunnah sayyiah (contoh/teladan yang buruk). Bagi siapa yang mencontohkan atau meneladani sunnah sayyiah (contoh/teladan/perkara baru yang buruk)  maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan contoh/teladan/perkara baru tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Siapa yang melakukan dalam Islam satu sunnah hasanah (contoh/teladan/perkara baru yang baik) maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah (contoh/teladan/perkara baru) tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan  dalam Islam satu sunnah sayyiah (contoh/teladan/perkara baru yang buruk),  maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah (contoh/teladan/perkara baru) tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203)

Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara sunnah hasanah (contoh/teladan/perkara baru yang baik)  dengan sayyiah (contoh/teladan/perkara baru yang buruk)  adalah adanya kesesuaian dengan pokok-pokok syar’i atau tidak”.

Sunnah hasanah (contoh/teladan/perkara baru yang baik) adalah contoh/teladan/perkara baru yang tidak bertentangan dengan pokok-pokok syar’i (tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah)
Sunnah sayyiah (contoh/teladan/perkara baru yang buruk) adalah contoh/teladan/perkara baru yang bertentangan dengan pokok-pokok syar’i (bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah).

Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )

Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyelahi pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)

Sehingga kita dapat memahami apa yang disampaikan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaa atau perkataan salaf yang sholeh yang sejenis bahwa,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Artinya adalah
sebagian besar perkara baru (bid’ah) adalah sesat walaupun manusia menganggapnya baik

Jadi baik atau buruk suatu perkara baru tidak boleh berdasarkan anggapan manusia atau berdasarkan akal pikiran manusia namun berdasarkan Al Qur’an dan  Hadits.

Jika tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah contoh/teladan/perkara baru yang baik atau sunnah hasanah  atau bid'ah hasanah (mahmudah)

Jika bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah contoh/teladan/perkara baru yang buruk atau sunnah sayyiah  atau bid'ah dholalah.

Begitupula para Imam Mazhab (Imam Mujtahid Mutlak)  dalam beristinbat, menetapkan hukum perkara suatu ibadah kedalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah) menghindari al-Maslahah al-Mursalah atau al-Istislah  yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’  (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang

Menurut Imam Syafi’i  ra cara-cara penetapan hukum seperti  itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakannya  sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri (akal pikiran sendiri) yang mungkin benar dan mungkin pula salah.

Ibnu Hazm termasuk salah seorang ulama yang menolak cara-cara penetapan hukum seperti  itu Beliau menganggap bahwa cara penetapan seperti  itu menganggap baik terhadap sesuatu atau kemashlahatan menurut hawa nafsunya (akal pikiran sendiri), dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.

Jelaslah bahwa perkara yang harus sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah perkara syariat atau perkara yang telah disyariatkanNya atau perkara yang telah diwajibkanNya yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi meliputi menjalankan perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa), menjauhi apa yang telah dilarangNya (jika dilanggar/dikerjakan berdosa) dan menjauhi apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar/dikerjakan berdosa). Allah ta'ala tidak lupa dan seluruhnya sudah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)

Sedangkan segelintir ulama berpendapat bahwa pengertian bid'ah menurut istilah adalah "suatu amalan yang dilakukan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah yang tidak ada sumbernya  dari Al-Qur'an maupun Hadits”  adalah sebuah kesalahpahaman karena yang harus ada sumbernya dari Al-Quran dan Hadits adalah perkara syariat atau segala perkara yang telah disyariatkanNya atau diwajibkanNya, wajib dijalankan dan wajib dijauhi, meliputi menjalankan perkara kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa,  menjauhi apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya yang jika dilanggar/dikerjakan berdosa. 
Sedangkan amalan yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau amal kebaikan , boleh terjadi perkara baru selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Contoh amal kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits serta di luar perkara syariat adalah Maulid Nabi, Sholawat Nariyah, Sholawat Badar, Barzanji, Qashidah Burdah, Ratib Al Haddad dan lain lain
Dalam sebuah hadit qudsi, Rasulullah bersabda “Allah berfirman, hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (perkara syariat), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan kebaikan maka Aku mencintai dia” (HR Bukhari 6021)
Bahkan kita diperintahkan untuk mencari jalan (washilah) untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Firman Allah ta’ala yang artinya
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Maa’idah [5]: 35)
Syaikh  Abu Al Hasan Asy-Syadzili,   ”Jika pendapat atau temuanmu bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadits

Ilham yang telah dihujamkan oleh Allah Azza wa Jalla kedalam jiwa (qalbu) setiap manusia sehingga selalu mengingat Allah (dzikrullah) dengan memilih yang haq, yang tidak bertentangan denga n Al Qur’an dan Hadits
Firman Allah ta’ala yang artinya,
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS As Syams [91]:8 )
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10)

Dalam suatu riwayat. ”Qoola Aliyy bin Abi Thalib: “Qultu yaa Rasulullah ayyun thoriiqotin aqrobu ilallahi?”  Faqoola Rasulullahi:  “dzikrullahi”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah, jalan/metode(Thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah? “Rasullulah menjawab; “dzikrullah

Muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan mengingat Allah setiap bersikap dan berbuat adalah muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh)
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Kesimpulannya:
Bid’ah dholalah adalah bid’ah dalam perkara syariat meliputi bid’ah dalam perkara kewajiban,  larangan dan pengharaman serta bid’ah di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits
Bid’ah Hasanah (mahmudah) adalah bid’ah di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits
SUMBER : 1000.000 menoak wahabi
disusun oleh :Uinuha A-asnawi 

NIAT DALAM SHOLAT (kupas tuntas)

Melafadzkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan tanpa dasar tapi karena memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh. Contoh melafadzkan niat adalah membaca “ushulli fardhush shubhi rak’atayni mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”, hal semacam ini biasa dibaca oleh kalangan Muslimin (terutama di Indonesia) sebelum Takbiratul Ihram artinya dibaca sebelum melaksanakan shalat, tidak bersamaan dengan shalat dan bukan bagian dari rukun shalat.
Seperti yang sudah diketahui bahwa permulaan shalat adalah niat dan takbiratul ihram dilakukan bersamaan dengan niat. Niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah takbir. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada Bab Niat pada Shalat (باب النية في الصلاة ) ;
قال الشافع: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
 Artinya:
“..niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”
Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16 ;
. (مقرونا به) أي بالتكبير، (النية) لان التكبير أول أركان الصلاة فتجب مقارنتها به،
“..Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbir adalah rukun shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat”
Al-Imam An-Nawawi, didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal (فصل في النية يجب مقارنتها التكبير)
يجب أن يبتدىء النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان
Artinya :
“diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”
Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, pada pembahasan (باب فرائض الصلاة) ;
النية، والتكبير، ومقارنة النية للتكبير
Artinya :"Niat dan Takbir, niat bersamaan dengan takbir"
Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i (1/30) :
وتكون النية مقارنة للتكبير لا يجزئه غيره والتكبير أن يقول ألله أكبر أو الله الأكبر لا يجزئه غير ذلك
Artinya :
"dan adanya niat bersamaan dengan takbir, tidak cukup selain itu. dan takbir yaitu mengucapkan (ألله أكبر) atau ( الله الأكبر), selain yang demikian tidaklah cukup (bukan takbir)."
Jadi, shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul Ihram yg sekaligus bersamaan dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan). Aktifitas atau ucapan apapun sebelum itu, bukanlah masuk dalam rukun shalat, demikian juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk dalam bagian dari (rukun) shalat.
Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;
- Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)
- Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.
- Fardliyah (الفرضية) maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (الفرضية).
Jadi berniat, semisal (ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﻠﻰ/”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena Allah”) saja sudah cukup.
Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) mengadung pengertian sebagai berikut (Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu ‘Ayn),
. وفي قول صححه الرافعي، يكفي قرنها بأوله
Artinya:
“Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal Takbir”.
وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره الامام والغزالي: أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا للصلاة
Artinya :
“Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ العرفية), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat (al-Istihdar al-‘Urfiyyah)”
Imam Al-Ibnu Rif’ah dan A-Imam As-Subki membenarkan pernyataan diatas, dan Al-Imam As-Subki mengingatkan bahwa yang tidak menganggap/menyakini bahwa praktek seperti atas (Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ )) tidak cukup menurut kebiasaan), maka ia telah terjerumus kepada kewas-wasan.
Pada dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) adalah berniat yang bersamaan dengan takbiratul Ihram mulai dari awal takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya keseluruhan takbir, inilah yang dinamakan Muqaranah Haqiqah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ).
Namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian takbir maka itu sudah cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang demikian menurut kebiasaan (Urfiyyah) sudah bisa dinamakan bersamaan, inilah yang dinamakan Muqaranah Urfiyyah ( ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ ).
Menurut pendapat Imam Madzhab selain Imam Syafi’i, diperbolehkan mendahulukan niat atas takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat pendek.
Tempatnya niat adalah di dalam hati. Sebagaimana diterangkan dalam
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“niat tempatnya didalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43) :
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup,
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat ;
النِّيَةُ) وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة)]
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan”
Demikian juga dikatakan dalam kitab yang sama (Kifayatul Akhyar) pada bab باب فرائض الصوم
لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف
Artinya :
Tidak sah puasa kecuali dengan niat, berdasarkan khabar (hadits shahih), tempatnya niat didalam hati, dan tidak syaratkan mengucapkannya tanpa ada khilaf”
Keterangan : pada bab Fardhu Puasa ini, mengucapkan niat tidak disyaratkan artinya bukan merupakan syarat dari puasa. Dengan demikian tanpa mengucapkan niat, puasa tetap sah. Demikian juga dengan shalat, melafadzkan (mengucapkan) niat shalat bukan merupakan syarat dari shalat, bukan bagian dari fardhu shalat (rukun shalat). Jadi, baik melafadzkan niat (talaffudz binniyah) maupun tidak, sama sekali tidak menjadikan shalat tidak sah, tidak pula mengurangi atau menambah-nambah rukun shalat.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam Tuhfatul Muhtaj (تحفة المحتاج بشرح المنهاج) [II/12] :
والنية بالقلب
"dan niat dengan hati"
Al-Hujjatul Islam Al-'Allamah Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy, didalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi'i, Juz I, Kitabus Shalat pada al-Bab ar-Rabi' fi Kaifiyatis Shalat ;
"niat dengan hati dan bukan dengan lisan"
Semua keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam hati (tidak ada cap bid’ah), niat amalan hati atau niat dengan hati. Demikian juga dengan niat shalat adalah didalam hati, sedangkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan pula aktifitas hati (bukan amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan oleh lisan. Niat dimaksudkan untuk menentukan sesuatu aktifitas yang akan dilakukan, niat dalam shalat dimaksudkan untuk menentukan shalat yang akan dilakukan. Dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya sesuatu. Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab (15/347) berkata ;
" Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Niat adalah arah yang dituju”.
Sebagaimana juga dikatakan didalam kitab Fathul Qarib :
وَ هِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”
Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab Al-Imam asy-Syafi'i, pada pembahasan Arkanush Shalat ;
وهي قصد الشيء مقترناً بأول أجزاء فعله، ومحلها القلب. ودليلها قول النبي"إنما الأعمال بالنيات"
Artinya :
"(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan, tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; ("إنما الأعمال بالنيات")"
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج)
وهي شرعا قصد الشيء مقترنا بفعله وأما لغة فالقصد
Artinya :
"(niat) menurut syara' adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan perbuatan, dan menurut lughah adl menyengaja"
Maka, selagi lagi kami perjelas. Niat adalah amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan takbiratul Ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat (mengucapkan niat) adalah amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum takbiratul Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan bukan merupakan bagian dari rukun shalat. Niat shalat tidak sama dengan melafadzkan niat.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat yaitu pada ibadah Haji.
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم)
 Artinya :
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan (نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ) “Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول : " نويت العمرة ، أو نويت الحج
Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
(ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
Artinya :
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji”
Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :
واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Artinya :Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah الرسالة :
أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
Artinya :
..selamanya tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”

قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
Artinya :
Aku (Imam Syafi'i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur'an maka itu hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).
Maksud perkataan Imam Syafi'i adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.
Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) adalah sebagai berikut ;
Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ;
. (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير، ليساعد اللسان القلب، وخروجا من خلاف من أوجبه.
 Artinya :
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati (kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِن خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
 Artinya :
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
 Artinya :
"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati.."
Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ;
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ
Artinya:
"dan sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati, terhindar dari was-was, dan untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. selesai"
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) ;
( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
Artinya :
"Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an (gangguan hati)"
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat ;
ويندب النطق قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب
Artinya :
"dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati"
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] ;
(قوله: وسن نطق بمنوي) أي ولا يجب، فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر، إذ العبرة بما في القلب. (قوله: ليساعد اللسان القلب) أي ولانه أبعد من الوسواس. وقوله: وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
Artinya :
“[disunnahkan melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak wajib, maka apabila dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat asar, maka tidak masalah, yang dianggap adalah didalam hati. [agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was. [mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan] maksudnya dengan (ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :
(وَيُنْدَبُ النُّطْقُ) بِالْمَنْوِيِّ (قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ
Artinya :
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati””
Didalam Kitab Matan Al-Minhaj lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i :
"(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)"
Kitab Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i ;
النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
Artinya :
"Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya, adapun tempatnya niat didalam hati sedangkan mengucapkan dengan lisan itu sunnah"
Didalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) ;
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
Artinya :
"adapun melafadzkan niat maka itu sunna supaya lisan dapat membantu hati"
Kitab Faidlul Haja 'alaa Nailur Roja, Al-'Alim Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad Mahfudz Salam Al-Hajiniy ;
قوله واللفظ سنة) اللفظ بمعنى التلفظ مصدر لفظ يلفظ من باب ضرب يضرب أى والتلفظ بها أى بالنية سنة فى جميع الأبواب كما قاله حج خروجا من خلاف موجبه
" melafadzkan (niat) itu sunnah.."
Kitab Minhajut Thullab, Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy ,
وسن نية نفل فيه وإضافة لله ونطق قبيل التكبير وصح أداء بنية وقضاء وعكسه لعذر وتكبير تحرم مقرونا به النية
Artinya :
"...(sunnah) mengucapkan (niat) sebelum takbir..."
Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat Al-Muftin, Al-Imam An-Nawawi,
والنية بالقلب ويندب النطق قبل التكبير
Artinya :
"niat didalam hati dan sunnah melafadzkan/mengucapkan niat sebelum takbir"
Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam kitab Minhajul Qawim (1/191) ;
فصل في سنن الصلاة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجب ذلك
Artinya :
"Fashal didalam menerangkan sunnah-sunnah shalat, dan sunnah shalat itu banyak, diantaranya adalah disunnahkan melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati dan untuk keluar (menghindari) khilaf ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i, Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut - Lebanon ;
قوله : ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
Artinya :
"qouluhu (tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan talaffudz biha (melafadzkan niat) didalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi Syuja', pada pembahasan "Arkanush shalah" ;
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
Artinya :
"dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya menjauhi dari was-was"
Didalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
Artinya :
"dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat"
Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan,
نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم وروده لا يدل على عدم وقوعه
Artinya :
"Iya, sunnah mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya Nabi mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka diqiyaskan kepadanya dalam seluruh Ibadah, dan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak menunjukkan atas ketiadaannya dan terjadinya"
Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri' didalam kitab Mu'jam beliau (336) :
أخبرنا ابن خزيمة حدثنا الربيع قال كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة، قال: بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر
Artinya :
"Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi' berkata, Imam Syafi'i ketika akan masuk dalam Shalat berkata,
(بسم الله، موجها لبيت الله، مؤديا لفرض الله، الله أكبر)"
Hawasyi Asy-Syarwaniy (1/240) ;
قوله: (سنن كثيرة) منها تقديم النية مع أول السنن المتقدمة على غسل الوجه فيحصل له ثوابها كما مر ومنها التلفظ بالمنوي ليساعد اللسان القلب
Artinya :
"disunnahkan melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati"
Tujuan dari melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, itu karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya hukumnya adalah sunnah. Selain itu lafadz niat adalah hanya demi ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.
Berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja.
Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat ;
باب النية لغة : القصد ، يقال : نواك الله بخير ، أي قصدك به ، ومحلها : القلب ، فتجزئ وإن لم يتلفظ .ولا يضر سبق لسانه بغير قصده وتلفظه بما نواه تأكيد
Artinya :
".. dan melafadzkannya dengan apa yang diniatkan adalah penguat (ta'kid)"
Dan sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin menghindari perselisihan bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak seperti saat ini, sebagian kelompok kecil ada yang beramal ASBED (asal beda), selalu mengangkat perkara khilafiyah dan begitu mudah mulut mereka membuat tuduhan bid’ah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal dengan kata lain, tuduhan bid’ah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah menghujat ulama dan menuduh ulama-ulama Madzhab yang telah mensunnahkannya.
Kesunnahan melafadzkan niat dari ulama Syafi’iiyah juga dapat dirujuk pada pendapat dalam kitab ulama syafi’iiyah lainnya maupun kitab-kitab ulama madzhab yang lainnya.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan yang buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah perkataan yang baik maka tentunya diridhoi oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa dan Allah senang dengan perkataan yang baik. Dengan demikian ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh malaikat sebagai amal bagi hamba tersebut.
Allah berfirman ;
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Artinya :
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. al-Qaaf 50 : 18)
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
 Artinya :
‘Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. al-Fathir 35 : 10)
Maka demikian, melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagai sebuah ucapan yang baik, juga memiliki nilai pahala sendiri disisi Allah berdasarkan ayat al-Qur’an diatas.
Didalam madzhab lainnya selain madzhab Syafi’iiyah juga mensunnahkan melafadzkan niat, misalnya ; Mazhab Hanafi (Ulama Hanafiyah) berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk melaksanakan shalat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan melafadhkannya dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunnah hukumnya, sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis sholat dalam niat adalah lebih afdlal. [al-Badai’ I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66]
Mazhab Hanbali (Ulama Hanabilah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tidak sah tanpa niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis sholat serta tujuan mengerjakannya. [al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’ I364-370]
Mazhab Maliki (Ulama Malikiyah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat, dan sebaiknya tidak melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan [asy-Syarhu ash-Shaghir wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305, al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520]
Misalnya dari Kalangan Malikiyah, Al-Imam Al-'Allamah Ad-Dardir rahimahullah ta'alaa didalam Syarh Al-Kabir,
قال العلامة الدردير رحمه الله تعالى في الشرح الكبير ( ولفظه ) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صلاة فرض الظهر مثلا ( واسع ) أي جائز بمعنى خلاف الأولى . والأولى أن لا يتلفظ لأن النية محلها القلب ولا مدخل للسان فيها
Artinya :
..dan melafadzkan niat yaitu seorang mushalli melafadzkan niat dimana dia mengatakan seumpama (نويت صلاة فرض الظهر) adalah wasi'/luas maksudnya boleh (جائز) bimakna khilaful Aula..
Ulama Maliki lainnya, Al-Imam Ad-Dasuqiy Al-Maliki rahimahullah didalam kitab Hasyiyahnya 'alaa Syarh Al-Kabir berkata,
قال الدسوقي رحمه الله تعالى في حاشيته على الشرح الكبير : لكن يستثنى منه الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد النية ليذهب عنه اللبس كما في المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن معنى واسع أنه خلاف الأولى
Artinya :
dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan melafadzkan niat..
DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767 : "Disunnatkan melafadzkan niat menurut jumhur selain madzab maliki." Didalam kitab yang sama juga diterangkan mengenai pendapat madzhab Maliki, jilid I/214 bahwa : “Yang utama adalah tidak melafadzkan niat kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang daripadanya keragu-raguan".
Hal-Hal Yang Berkaitan :
[-]. Perihal Hadits (إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى), “Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan” [Arba’in an-Nawawi, hadits pertama (متفق عليه)]
Hadits ini sama sekali tidak berbicara bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah, namun mengenai niat sebagai syarat sahnya sebuah amal, atau niat sebagai penyempurna sebuah amalan. Sebagaimana shalat juga tidak sah jika tidak disertai dengan niat, sebab niat dalam shalat merupakan bagian dari rukun sholat yang aktifitasnya didalam hati. Berbeda dengan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) dimana aktifitasnya adalah lisan dan bukan merupakan rukun shalat, namun sunnah. Kesunnanan ini (Talaffudz binniyah) baik dikerjakan atau tidak, tidak merusak pada sahnya shalat dan tidak juga menjadikan shalat batal.
Didalam kitab syarahnya pun yaitu dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
Artinya :
"dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan (melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat"
[-]. Perihal Jawaban Imam Ahmad : Abu Dawud As-Sijistany , penulis kitab As-Sunan pernah bertanya kepada Imam Ahmad, "Apakah seorang yang mau melaksanakan Sholat mengucapkan sesuatu sebelum takbir?" Jawab beliau, " tidak usah". [Lihat Masa'il Abi Dawud (hal.31)]
Dalam Masa’il Abi Daud diatas, Imam Ahmad tidak membid’ahkan, beliau hanya mengatakan tidak usah. Sedangkan kalangan Madzhab Hanabilah sendiri mensunnahkan melafadzkan niat.
[-] Ada yang mengatakan, "yang didahulukan itu seharusnya adalah sabda Nabi bukan Ulama".
Jawaban : "memang benar, tetapi siapa yang lebih paham mengenai sabda/perbuatan Nabi daripada Ulama ?? Tentu saja yang diikuti adalah ulama yang tepat, yang lebih paham sabda Nabi.
[-] Perihal Ulama Yang Mewajibkan (Melafadzkan niat)
Ini kami anggap penting untuk dijelaskan, agar tidak terjadi salah paham atau disalah pahami untuk menyalah pahamkan pendapat lainnya. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (Tuhfatul Muhtaj), Imam Ramli (Nihayatul Muhtaj), Al-'Allamah Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz (Fathul Mu'in) dan yang lainnya, bahwa penetapan hukum sunnah terhadap melafadzkan niat (talaffudz binniyah) juga bermaksud menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.
Perlu diketahui bahwa ulama yang mewajibkan (talaffudz binniyah) juga dinisbatkan kepada madzhab Syafi'iyyah sebab memang masih bermadzhab Syafi'i. Beliau adalah Imam Abu Abdillah az-Zubairiy (أبي عبد الله الزبيري). Beliau mewajibkan melafadzkan niat berdasarkan pemahamannya terhadap perkataan Imam Syafi'i tentang "an-Nuthq (النطق). Menurut pemahaman beliau apa yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan "an-nuthq (النطق)" adalah melafadzkan niat. Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan an-Nuthq (النطق) adalah Takbir (Takbiratul Ihram), menurut Al-Imam Nawawi. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu' (II/43) ;
، لأن الشافعي رحمه الله قال في الحج : إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ ، وإن لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح إلا بالنطق
Artinya :
"Karena sesungguhnya Al-Imam asy-Syafi'i berkata didalam (Bab) Haji : "apabila seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafadzkan. Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan melafadzkannya (an-Nuthq)"
Jadi, beliau (Abu Abdillah az-Zubairiy ) mengira bahwa Imam Syafi'i memasukkan talaffudz binniyah menjadi bagian dari syarat sahnya shalat, padahal tidak demikian.
Maka, itu sebabnya pendapat yang mewajibkan ini dikatakan syad (menyimpang) oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy didalam Tuhfatul Muhtaj (II/12) :
وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج
Artinya :
" dan (juga) untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang)"
Imam an-Nawawi didalam kitab Al-Majmu' (II/43) juga menjelaskan kekeliruan tersebut.
قال أصحابنا : غلط هذا القائل ، وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا ، بل مراده التكبير
Artinya :
"Beberapa shahabat kami berkata : "Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh Al-Imam Asy-Syafi'i dengan kata "an-Nuthq (melafadzkan)" di dalam shalat, tetapi yang dikehendaki adalah Takbir (Takbiraul Ihram)"
Sementara lihatlah begitu indah menyebut Syekh Abu Abdillah az-Zubairy dengan sebutan "Ashabinaa", walaupun tidak menyetujui pendapatnya. Tauladan yang sangat terpuji dalam menyikapi khilafiyah.
Disebutkan juga dalam Al-Hawi fiy Fiqh Asy-Syafi'i, Al-Imam Al-Mawardiy Asy-Syafi'i, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut - Lebanon ;
وَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا : النِّيَّةُ اعْتِقَادٌ بِالْقَلْبِ وَذِكْرٌ بِاللِّسَانِ لِيُظْهِرَ بِلِسَانِهِ مَا اعْتَقَدَهُ بِقَلْبِهِ فَيَكُونُ عَلَى كَمَالٍ مِنْ نِيَّتِهِ وَثِقَةٍ مِنَ اعْتِقَادِهِ ، وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ : لِأَنَّ الْقَوْلَ لَمَّا اخْتَصَّ بِاللِّسَانِ حكم النية به لَمْ يَلْزَمِ اعْتِقَادُهُ بِالْقَلْبِ ، وَجَبَ أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ إِذَا اخْتَصَّتْ بِالْقَلْبِ لَا يَلْزَمْ ذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ . فَعَلَى هَذَا لَوْ ذَكَرَ النِّيَّةَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَعْتَقِدْهَا بِقَلْبِهِ لَمْ يُجِزْهُ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ مَعًا . فَلَوِ اعْتَقَدَهَا بِقَلْبِهِ وَذَكَرَهَا بِلِسَانِهِ أَجْزَأَهُ عَلَى الْمَذْهَبَيْنِ جَمِيعًا وَذَلِكَ أَكْمَلُ أَحْوَالِهِ ، وَلَوِ اعْتَقَدَ النِّيَّةَ بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَذْكُرْهَا بِلِسَانِهِ أَجْزَأَهُ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ ، وَلَمْ يُجْزِئْهُ عَلَى مَذْهَبِ الزُّبَيْرِيِّ
dan didalam kitab Hilyatul Ulama fiy Ma'rifati Madzahib Al-Fuqaha (2/70), Al-Imam Saifuddin Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Asy-Syasyi Al-Qaffal,
وينوي والنية فرض للصلاة ومحلها القلب وغلط بعض أصحابنا فقال لا تجزئه النية حتى يتلفظ بلسانه
Artinya :
Jadi, pendapat yang dianggap menyimpang/keliru adalah jika melafadzkan niat (talaffudz binniyah) dimasukkan sebagai bagian dari fardhu shalat atau shalat dianggap tidak cukup jika tanpa melafadzkan niat. Sebab mewajibkan talaffudz binniyah sama saja telah masukkannya sebagai bagian dari shalat. Maka yang sebenarnya tidak dikehendaki adalah dalam hal mewajibkannya bukan kesunnahan melafadzkan niat. [] []
Wallahu Subhanahu wa Ta'alaa A'lam...
REFERENSI :
Kitabul Ilah (al-Qur’an) ; Al-Majmu’, Hujjatul Islam Al-Imam An-Nawawi ; Raudhatut Thalibin, Hujjatul Islam Al-Imam Nawawi ; Arbai’in An-Nawawi , Hujjatul Islam Al-Imam Nawawi ; Fathul Mu’in, Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy ; Fathul Qarib, Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i ; As-Siraj Al-Wahaj, Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy ; Nihayatul Muhtaj, Al Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas ar-Ramli (Imam Ramli) ; Kifayatul Akhyar, Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini ; Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy ; Tuhfatul Muhtaj Bisyarhi Minhaj, Al Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy ; Al-Umm , Nashirus Sunnah Al-Imam Al-Mujtahid Asy-Syafi'i ; Al-Fiqhul Islam, DR. Zuhaili Wahbah ; Fiqh As-Sunnah, Sayyid Sabiq ; Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab, Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ; Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab Imam Syafi'i, DR. Musthafa Al-Khin & al-Bugha ; Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam asy-Syafi'i, Hujjatul Islam Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy ; Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj, Imam Asy-Syarbainiy ; Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, al-Imam Zakaria Al-Anshariy ; I’anatut Thalibin, Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy ; Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin, Al-Allamah Jalaluddin Al-Mahalli ; Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i, Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy ; Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ; Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy ; Faidlul Haja 'alaa Nailur Roja, Al-'Alim Ahmad Sahal Al-Hajiniy ; Minhajut Thullab, Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy ; Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat Al-Muftin, Al-Imam An-Nawawiy ; Minhajul Qawim, Al-Imam An-Nawawiy ; Tuhfatul habib ala syarhil khotib, Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman Al-Bujairamiy ; Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi Syuja', Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib ; Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Misthu ; Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar, Imam Ibnu 'Alan ; Al-Mu'jam, Imam Ibnu Muqri' ; Al-Hawi fiy Fiqh Asy-Syafi'i, Al-Imam Al-Mawardiy Asy-Syafi'i ; Hilyatul Ulama fiy Ma'rifati Madzahib Al-Fuqaha, Al-Imam Al-Qaffal ; Dan dari berbagai sumber (lain-lain).
oleh : Abdururrahim (bangka -madura)
Disusun :uinuha Al-asnawi.